Oleh: Jamilatuzzahro M.Si, & Grace Zefanya
Dana Desa memiliki peran sentral dalam Transfer Ke Daerah (TKD) yang diperuntukkan khusus bagi desa, dengan tujuan mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan di tingkat desa. Komitmen pemerintah terlihat dari perkembangan besaran alokasi dana desa dari tahun 2015 hingga 2023. Alokasi Dana Desa untuk setiap wilayah di Indonesia menunjukkan pola yang beragam. Sumatera, dengan 10 provinsi dan 131 kabupaten/kota, memiliki rata-rata Dana Desa per desa sebesar Rp 739.615.964, dan rata-rata per penduduk perdesaan mencapai Rp 519.410,68. Sementara itu, Jawa Bali menonjol dengan rata-rata penduduk perdesaan per desa yang lebih tinggi, mencapai 2.262,51 jiwa, dan meskipun memiliki rata-rata Dana Desa per desa yang lebih tinggi (Rp 866.833.277), rata-rata per penduduk pedesaan lebih rendah, yakni Rp 383.128,15. Kalimantan menunjukkan kepadatan penduduk pedesaan yang tinggi (1.306,25 jiwa/km2) dan rata-rata Dana Desa per desa sebesar Rp 787.050.443. Sulawesi memiliki rata-rata Dana Desa per desa dan per penduduk pedesaan yang sebanding (Rp 760.775.820 dan Rp 528.075,18). Sementara itu, Nusa Tenggara memiliki rata-rata Dana Desa per desa sebesar Rp 856.682.677, dengan rata-rata per penduduk perdesaan mencapai Rp 512.346,39. Maluku dan Papua menunjukkan perbedaan signifikan, dengan Maluku memiliki rata-rata Dana Desa per desa yang tinggi (Rp 758.601.472) dan Papua memiliki rata-rata Dana Desa per penduduk perdesaan tertinggi, yaitu Rp 2.119.619,06. Data ini mencerminkan kompleksitas dalam alokasi Dana Desa, yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kebijakan untuk pemberdayaan masyarakat desa di berbagai wilayah Indonesia.
Tabel 1 : Distribusi Dana Desa di Tiap Wilayah
Wilayah | Jumlah Provinsi | Jumlah Kab/Kota | Jumlah Desa | Rata-Rata Dana Desa | Rata-Rata Dana Desa per Desa | Rata-Rata Dana Desa per Penduduk Perdesaan |
(Miliar Rupiah) | (Rp.) | (Rp.) | ||||
Sumatera | 10 | 131 | 23.045 | 17.044,45 | 739.615.964 | 519.410,68 |
Jawa Bali | 6 | 95 | 23.111 | 20.033,38 | 866.833.277 | 383.128,15 |
Kalimantan | 5 | 47 | 6.616 | 5.207,13 | 787.050.443 | 602.527,04 |
Sulawesi | 6 | 71 | 8.747 | 6.654,51 | 760.775.820 | 528.075,18 |
Nusa Tenggara | 2 | 29 | 4.021 | 3.444,72 | 856.682.677 | 512.346,39 |
Maluku | 2 | 20 | 2.261 | 1.715,20 | 758.601.472 | 795.115,11 |
Papua | 2 | 41 | 7.153 | 5.603,73 | 783.409.344 | 2.119.619,06 |
Sumber: Kementerian Keuangan 2023, BPS 2023; Kemendagri 2023; Kementerian PPN/Bappenas 2023
Penetapan alokasi ini menjadi kunci dalam mendukung berbagai program pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di tingkat desa. Selain itu, implementasi kebijakan dan reformasi bertujuan untuk memastikan efektivitas penggunaan Dana Desa, dengan fokus pada pertumbuhan ekonomi inklusif, peningkatan infrastruktur, dan pelayanan dasar di seluruh wilayah pedesaan sehingga mengurangi angka kemiskinan ekstrem dan Kemiskinan Desa yang hingga saat ini masih menghadapi tantangan. Dalam prosesnya, untuk mencapai nol orang miskin ekstrem (dengan batas $2,15 PPP), diperlukan upaya untuk mengentaskan 6,7 juta jiwa hingga tahun 2024. Jika menggunakan angka batas $1,90 PPP, masih tersisa sekitar 4,8 juta jiwa hingga tahun 2024, sehingga diperlukan penurunan sekitar 2,4 juta jiwa penduduk miskin ekstrem setiap tahun.
Gambar 1. Kondisi Kemiskinan Ekstrem, dan Kemiskinan Desa
Sumber: Kementerian Keuangan 2023, BPS 2023; Kemendagri 2023; Kementerian PPN/Bappenas 2023
Namun, berdasarkan simulasi dengan kondisi program pemberdayaan saat ini, hanya terjadi penurunan sekitar 0,02% poin pada tingkat kemiskinan dan 0,01% poin pada tingkat kemiskinan ekstrem. Prediksinya hanya mampu mengangkat sekitar 55 ribu orang dari kemiskinan dan 36 ribu orang dari kemiskinan ekstrem. Angka Kemiskinan Desa diperkirakan masih belum mencapai target pada tahun 2024. Pada tahun 2020, terjadi peningkatan Angka Kemiskinan Desa menjadi 13,20% karena dampak Covid-19. Proyeksi kemiskinan desa di tahun 2024 berkisar antara 11,16% hingga 12,22%. Potensi kesenjangan pada tahun 2024 diperkirakan berada dalam rentang 1,26% hingga 2,32%. Dengan demikian, tantangan untuk mengatasi kemiskinan desa masih perlu perhatian khusus dan upaya lebih lanjut.
Simulasi program pemberdayaan Dana Desa mengindikasikan penurunan yang terbatas pada tingkat kemiskinan desa. Kendati demikian, keterbatasan ini menunjukan kompleksitas tantangan pembangunan lokal melalui Dana Desa, termasuk praktik klientelisme dalam pengelolaan Dana Desa serta dinamika otonomi desa, dan earmaking Dana Desa. Dalam rangka mencapai pembangunan desa yang lebih inklusif dan berkelanjutan, diperlukan perhatian, tidak hanya peningkatan aspek ekonomi, tetapi juga pemeliharaan integritas pengelolaan dana dan mendorong partisipasi politik yang sehat.
Dinamika Otonomi Desa: Tantangan Klientelisme dalam Pengelolaan Dana Desa dan Implikasinya terhadap Politik
Otonomi desa, sebagai inti pembangunan lokal, menghadapi tantangan serius terkait praktik klientelisme yang dapat merugikan integritas Dana Desa. Terutama menjelang pemilihan umum, kekhawatiran muncul karena adanya potensi penyalahgunaan Dana Desa, yang dapat berdampak pada kualitas demokrasi dan partisipasi politik dalam jangka panjang. Praktik klientelisme menjadi suatu bentuk korupsi yang dapat berlangsung karena adanya relasi politik bercorak patron–klien (KPK, 2016). Menilik kembali pada permasalahan yang mendasarinya, relasi ini dapat terus dilanggengkan karena adanya “keinginan” atau “permintaan” sebagai pasar dari pihak pemangku jabatan di desa. Hal ini dilandasi adanya ketidakpercayaan atau ketidakmampuan dari masyarakat untuk memastikan kesejahteraan pribadi dan golongannya di dalam agenda politik yang akan datang. Di sisi lain, celah ini kerap dimanfaatkan oleh kandidat pemerintahan yang merebutkan kekuasaan sebagai patron atau terpandang untuk memperoleh suara dalam masyarakat sebagai klien. Secara lebih lanjut, Ramadhan dan Oley (2019) mendefinisikan dua faktor utama yang mendasari praktik klientelisme, yaitu hak kewarganegaraan yang belum terpenuhi dan fungsi representasi dalam politik yang tidak berjalan dengan baik.
Peruntukan dana desa yang diusung sebagai kebijakan pengentasan kemiskinan dapat disangsikan karena adanya praktik klientelisme. Disrupsi dalam sistem politik demokrasi ini menjadi fenomena sosial politik yang erat dengan sistem pemerintahan tingkat desa. Perubahan terhadap masa jabatan seorang Kepala Desa telah disetujui dalam Rapat Panitia Kerja Badan Legislatif DPR RI bersama dengan Menteri Dalam Negeri Indonesia pada awal Februari 2024 silam. Revisi ini diperuntukkan bagi Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, terkait masa jabatan Kepala Desa yang diperpanjang menjadi 8 tahun, setelah sebelumnya 6 tahun, dan dapat dipilih hingga 2 kali masa jabatan. Perubahan ini dapat diprediksikan akan memiliki implikasi pada proses pengelolaan dana desa, menuai kekhawatiran bagi adanya penguasaan dana oleh para elit desa. Pemerintah desa memiliki kontrol strategis atas distribusi sumber daya desa, termasuk dalam mengelola dana yang diterima. Dengan diperpanjangnya masa jabatan Kepala Desa, posisi kekuasaan politik desa semakin menarik, menimbang jajaran pemerintahan desa mendapatkan peluang dari relasi patron-klien. Hal ini akan berdampak pada akselerasi permintaan praktik klientelisme dari pihak desa sebagai klien, mengarah kepada penyimpangan demokrasi patron yang lebih lagi.
Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Ward Berenschot pada tahun 2014, menyatukan data dari Sensus Desa (PODES) dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang awalnya melibatkan 546 kabupaten, menjadi satu set data konsisten untuk periode 1999–2013, dan mencakup 76% dari total populasi Indonesia.
Gambar 2. Intensitas Praktik Klientelisme di Seluruh Indonesia
Skor intensitas Praktik Klientelisme dalam peta menunjukkan bahwa politik di Jawa cukup berbeda dibandingkan dengan politik di Timur Indonesia. Politik di Jawa umumnya dianggap kurang klientelistik, karena skor rendah secara konsisten ditemukan di Jawa, khususnya di kota-kota seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Tangerang, tempat dilakukannya penelitian lapangan kami. Pemerintah provinsi di Jawa, kecuali Banten, juga mendapat skor lebih rendah dibandingkan provinsi lain, dengan skor terendah untuk Jawa Tengah (5,1). Sebaliknya, politik lokal di Kalimantan dan Indonesia Timur dianggap sangat bersifat klientelistik, dengan skor yang cukup tinggi untuk ibu kota kabupaten seperti Kupang (8,0), Makassar (7,4), Palangka Raya (7,4) serta daerah pedesaan di Flores (Manggarai Barat, 7,5), Papua (Jayawijaya (7,4)) dan Kalimantan (misalnya Gunung Mas, 7,9) dan Kutai Kartanegara, 7,1). Penilaian terhadap politik provinsi di Indonesia bagian timur juga menghasilkan skor tinggi yang serupa. Secara keseluruhan, distrik dan provinsi Sumatra mendapatkan skor di antara dua ekstrim ini.
Dinamika Dana Earmark dalam Pembangunan Desa
Earmarking dana untuk pembangunan desa, khususnya melalui inisiatif Dana Desa, telah mengalami transformasi yang signifikan selama bertahun-tahun, mencerminkan perubahan lanskap sosial-ekonomi Indonesia yang terus berkembang. Pada tahun anggaran 2020, sebelum munculnya pandemi COVID-19, penekanan diberikan pada pengembangan dan pemberdayaan komprehensif masyarakat desa, dengan fokus pada peningkatan kesejahteraan, peningkatan kualitas hidup, dan penanggulangan kemiskinan ekstrem. Namun, seiring berkembangnya pandemi, tahun-tahun fiskal berikutnya menyaksikan pergeseran strategis dalam kebijakan. PMK No 201-07-2022 menjadi titik balik, mengalihkan Dana Desa ke arah pemulihan ekonomi, perlindungan sosial, dan penanggulangan kemiskinan ekstrem. Terutama, PMK No 17-07-2021 mengukuhkan alokasi untuk Bantuan Langsung Tunai Desa (BLT) dan program-program yang menangani ketahanan pangan pada tahun anggaran 2021, mencerminkan respons pemerintah yang proaktif terhadap tantangan yang muncul.
Gambar 2. Skema kebijakan earmark dana desa
Selama tahun 2020 sampai dengan tahun 2023, telah dilaksanakan dua skema kebijakan earmark dana desa yang berbeda. Kebijakan yang diterapkan mulai tahun 2020 hingga 2022 berfokus pada penanganan Covid-19 sampai dengan 8% dari dana desa dan ketahanan pangan sampai dengan 20% alokasi dana desa. Sementara itu, bantuan langsung tunai (BLT) untuk desa memiliki bagian yang mencapai 40%. Dengan skema ini, pimpinan desa dapat memiliki ruang gerak dalam pengelolaan dana hingga 32%. Seiring meredanya pandemi Covid-19, didukung dengan adanya kepentingan dalam dunia politik, kebijakan earmark dana desa mengalami pergeseran fokus pada 2023. Dengan objektif pertahanan pangan tetap pada tingkat 20% alokasi, penanganan pandemi dialihkan menjadi operasional desa yang alokasinya turun menjadi 3%. Di samping itu, dana bantuan langsung tunai diturunkan menjadi 10%-25%. Dengan bergesernya peruntukan dana earmark desa, ruang gerak pengelolaan dana pun meluas menjadi 52–67%. Meskipun memiliki tujuan awal sebagai akselerasi pembangunan desa, meningkatnya peluang bagi praktik kecurangan politik di dalam pemerintahan desa tidak bisa dihindarkan.
Di tengah krisis COVID-19, PMK No 35 Tahun 2020 dan regulasi-regulasi berikutnya menekankan penggunaan dana untuk bantuan tunai langsung dan kegiatan terkait pandemi, melakukan dekonsentralisasi dan kewenangan pengambilan keputusan hingga tingkat desa. Tahun-tahun berikutnya menyaksikan penyempurnaan lebih lanjut, seiring PMK No 146-07-2023 memperluas cakupan untuk mencakup program pencegahan dan penurunan stunting. Di luar tanggapan terhadap pandemi, regulasi seperti Permendesa No 13 Tahun 2020 dan Permendesa No 14 Tahun 2020 menguraikan visi yang lebih luas untuk pembangunan desa, sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Aturan ini menyoroti prioritas dana untuk berbagai program, mulai dari pemulihan ekonomi hingga keberlanjutan lingkungan, mencerminkan pendekatan holisti
Pengentasan kemiskinan ekstrem melalui Dana Desa dapat dioptimalkan dengan mengimplementasikan strategi kunci. Pertama-tama, penargetan yang cermat perlu dipastikan untuk memastikan bahwa program mencapai individu atau kelompok yang benar-benar membutuhkan. Penggunaan Jukops Prioritas dapat membantu mengarahkan dana desa ke area yang paling memerlukan, sementara pemantauan dan kajian di tingkat desa diperlukan untuk mengatasi potensi dampak negatif. Dalam hal pengelolaan data, pemanfaatan Data Regsosek direkomendasikan untuk mengidentifikasi dengan tepat individu atau keluarga yang mengalami kemiskinan ekstrem. Penting untuk memperbarui dan memverifikasi data secara berkala serta mengintegrasikannya dengan lembaga terkait untuk meningkatkan kualitas dan relevansi informasi.
Kualitas program dapat ditingkatkan melalui standarisasi metode pelaksanaan, seperti konsep padat karya dengan memperhatikan inklusivitas. Implementasi keperantaraan dan pemberdayaan juga penting untuk memberikan dampak jangka panjang. Pemilihan pelaksana dengan hati-hati dan pelatihan yang memadai akan menjaga kualitas pelaksanaan. Keterpaduan dan keberlanjutan program dapat dicapai dengan menyelaraskan dengan program atau kegiatan dari sumber pendanaan lain dan menyamakan satuan intervensi. Mekanisme koordinasi yang baik antar-pihak terkait dan pemangku kepentingan perlu diterapkan. Evaluasi berkala dan partisipasi aktif masyarakat setempat juga diperlukan untuk memastikan efektivitas dan keberlanjutan program di tingkat desa.
Mengelola Dana Desa untuk Pembangunan Inklusif dan Berkelanjutan
Pentingnya menjaga keseimbangan antara wewenang desa dan pusat muncul sebagai solusi krusial. Dalam konteks ini, praktik sentralistik mungkin tidak memberikan jawaban utama. Sebaliknya, perlu diberikan otoritas lebih besar kepada desa, sambil tetap mempertahankan kontrol yang efektif dari pusat. Langkah ini tidak hanya akan memperkuat otonomi desa, tetapi juga membuka pintu bagi pengelolaan Dana Desa yang lebih transparan dan inklusif. Sistem insentif memegang peran penting dalam mengembalikan otoritas ke desa. Perbaikan formula Dana Desa dengan meningkatkan komponen kinerja dapat menjadi langkah strategis. Insentif yang jelas dan berkelanjutan akan memberikan dorongan bagi desa untuk mengoptimalkan penggunaan dana dan mencapai hasil pembangunan yang lebih baik.
Pada tahun 2001, Thailand meluncurkan program bernama Dana Bergulir Desa dan Perkotaan Thailand. Program ini bertujuan memberikan modal kerja sebesar satu juta baht (sekitar USD22.500 pada saat itu) kepada desa-desa Thailand untuk lembaga kredit lokal. Pada tahun 2017, pemerintah Thailand mengalokasikan 35 miliar baht (sekitar USD1 miliar) untuk program ini, dan anggaran tersebut meningkat menjadi 55 miliar baht (sekitar USD1,5 miliar) pada tahun 2018. Pada tahun 2020, pemerintah menyetujui anggaran sebesar 144 miliar baht (USD4,7 miliar) untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Berbeda dengan Dana Desa Indonesia, Dana Desa Thailand berperan sebagai lembaga keuangan mikro yang memberikan pinjaman dengan suku bunga rendah, terutama digunakan untuk mendanai kegiatan pertanian (The World Bank: Washington DC, USA, 2012).
Di China, terdapat desa-desa perkotaan dan pedesaan, di mana desa perkotaan dibentuk oleh migrasi dari pedesaan ke perkotaan; wilayah perkotaan memerlukan unit perumahan berbiaya rendah. Oleh karena itu, pemerintah China memperkenalkan program pembangunan ulang desa perkotaan untuk mencapai “kota tanpa desa perkotaan” dengan meresmikan dan meningkatkan lingkungan menuju properti yang lebih mahal. China juga merupakan negara dengan subsidi tertinggi untuk sektor pertanian pada tahun 2016, dengan jumlah sekitar USD 212 miliar, mengalahkan Uni Eropa sebesar USD 100 miliar dan Amerika Serikat sebesar USD 33 miliar. Hal ini karena pemerintah ingin meningkatkan pendapatan di pedesaan melalui sektor pertanian dan mengurangi ketidaksetaraan antara masyarakat pedesaan dan perkotaan.(Hopewell, K., 2021). Anggaran nasional China untuk pertanian dan wilayah pedesaan pada tahun 2016–2019 sebesar 6,07 triliun RMB (sekitar USD 925,9 miliar) untuk mendukung pasokan pertanian dasar, pengentasan kemiskinan, dan reformasi struktural di industri, serta meningkatkan keterkaitan yang relevan antara pertanian dan wilayah pedesaan, dan perbaikan sistem tata kelola pedesaan(Zeng, G.; Zhang, C., 2021).
Contoh lainnya adalah Kebijakan Pembangunan Pedesaan Malaysia, yang terdiri dari sepuluh tujuan, beberapa di antaranya terkait dengan SDGs melibatkan pembangunan ekonomi, perempuan, lingkungan, dan perumahan. Namun, mereka tidak secara khusus merujuk pada SDGs. Dibandingkan dengan Indonesia, ketiga negara ini tidak memiliki anggaran khusus untuk setiap pemerintah desa yang dapat digunakan dan dikelola untuk pembangunan desa. Sebaliknya, kebijakan negara lain lebih fokus pada pengembangan desa melalui pemerintah lokal dan kebijakan mereka, sementara Dana Desa Thailand digunakan sebagai modal kerja untuk skema kredit lokal guna mendanai sektor pertanian dan pertumbuhan ekonomi di desa mereka. Berdasarkan perbandingan ini, dapat dikatakan bahwa Dana Desa Indonesia unik karena tampaknya tidak ada negara lain yang memiliki anggaran serupa yang didedikasikan untuk bantuan pembangunan desa.
Sistem monitoring dan evaluasi yang cermat menjadi kunci dalam memastikan keberlanjutan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa. Fokus pada program-program produktif dan berkesinambungan, sambil mempertahankan program konsumtif untuk kelompok rentan, adalah langkah bijak dalam menjaga keseimbangan dan mencegah penyalahgunaan Dana Desa. Peningkatan kapasitas pemerintah desa menjadi landasan yang tak terhindarkan. Dengan membangun pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan, pemerintah desa dapat menjadi mitra yang lebih efektif dalam upaya pembangunan lokal. Selain itu, perbaikan indikator dasar dan komponen monitoring tambahan membantu dalam memahami dan mengukur dampak pembangunan. Tingkat afirmasi program dan komplementaritas dengan inisiatif pemerintah lainnya menjadi tolok ukur penting dalam menilai kualitas penggunaan Dana Desa.