Oleh: Wisnu Setiadi Nugroho, Ph.D & Jamilatuzzahro, M.Si
Dalam konteks dinamika politik dan pergantian kepemimpinan pemerintah Indonesia, bantuan sosial (bansos) menjadi isu krusial yang mencuat di tengah masyarakat. Banyak masyarakat bertanya dan meragukan keberlangsungan program-program bansos yang sudah berjalan selama ini apabila terjadi pergeseran kekuasaan pemerintahan. Secara historis, bansos bukan merupakan hal baru. Di setiap rezim pemerintahan, tiap presiden selalu menganggarkan perlindungan sosial melalui Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Hal ini menunjukkan bahwa bantuan sosial bukan hanya sebuah kebijakan sementara yang dapat berubah seiring pergantian kepemimpinan, tetapi merupakan hak dasar masyarakat yang harus diakui, dipertahankan secara kontinu, dan dilindungi oleh undang-undang.
Hal ini tertera pada pasal 33 (ayat 3) dan pasal 34 UUD 1945. Kemudian, juga diperkuat oleh Perpres No 63/2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai. Dimana penyaluran bantuan sosial kepada masyarakat harus dilakukan dengan efisiensi, sasaran yang tepat, jumlah yang tepat, dan tepat waktu. Tujuannya adalah untuk menjamin kesejahteraan penerima manfaat dan mengurangi risiko sosial. Lebih lanjut lagi, pemberi atau penyalur bantuan sosial merujuk pada Satuan Kerja di Kementerian/Lembaga di Pemerintah Pusat dan/atau Satuan Kerja Perangkat Daerah di Pemerintah Daerah yang memiliki tugas dan fungsi melaksanakan program penanggulangan kemiskinan. Sebagai contoh, mayoritas bantuan sosial dilaksanakan oleh kementerian sosial beberapa waktu terakhir ini.
Dalam dua dekade terakhir, Indonesia telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam melindungi masyarakatnya melalui serangkaian program perlindungan sosial. Perubahan dalam program dan struktur kelembagaan mencerminkan adaptabilitas pemerintah Indonesia. Pemerintah, siapapun rezimnya, terus berusaha menghadapi dinamika sosial dan ekonomi yang berkembang dengan cepat. Tabel 1 menunjukkan bagaimana perkembangan kelembagaan bantuan sosial sejak tahun 1998.
Periode | Program | Penanggung Jawab | Pelaksana | Angka dan masing-masing program |
1998 – 2005 | Program SSN | Bappenas | Bappenas | Total rerata anggaran: 2.03 T *hanya data 2005 Highlight Program: Sistem Sosial Nasional (SSN), Jaring Pengaman Sosial (Askeskin, Raskin), Program Keluarga Harapan (Conditional Cash Transfer) |
2005 – 2010 | Pengurangan Kemiskinan | N/A | Kementrian | Total rerata anggaran: 36,55 Trilliun Highlight Program: Bantuan Langsung Tunai, Beasiswa Siswa Miskin, Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) |
2010 – 2015 | Pengurangan Kemiskinan | TNP2K | Kementrian | Total rerata anggaran: 118.108 Trilliun Highlight Program, Program Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Pintar, BPJS-Kesehatan, BPJS-Tenaga Kerja |
2015 – saat ini | Pengurangan Kemiskinan | Kemensos, dan KSP | Kementrian | Total rerata anggaran: 412,58 Trilliun Highlight Program: Program Keluarga Harapan (Conditional Cash Transfer), BLT-Sembako, BPNT, Kartu Pra-Kerja |
Sejak tahun 1998, perjalanan evolusi bantuan sosial di Indonesia mencatat perubahan signifikan dari sisi pendekatan dan tujuannya. Awalnya, pemerintah menerapkan model subsidi pada energi dan barang-barang pokok secara langsung sebagai respons terhadap krisis ekonomi dan sosial yang melanda. Dipandang dari sisi efisiensi dan efektivitas, bantuan sosial melalui subsidi barang memiliki banyak permasalahan. Contohnya, ketidaktepatan sasaran (subsidi bbm dinikmati lebih besar oleh masyarakat mampu dan bermobil), mengganggu & mendistorsi sistem pasar, dan rentan terhadap korupsi.
Menyadari perlunya pendekatan yang lebih terarah, pemerintah mulai mengenalkan program-program bantuan sosial spesifik bersyarat dengan sasaran rumah tangga dan individu miskin seperti Program Keluarga Harapan (PKH) yang telah berjalan sejak tahun 2001. Perubahan signifikan terjadi pada tahun 2011 ketika pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, menandai pergeseran fokus ke aspek kesehatan dalam bantuan sosial dan menawarkan program berbentuk social insurance sebagai komplemen social assistance dalam bentuk bansos. Lebih lanjut lagi, inovasi terus digalakkan dan program bansos diarahkan ke program dengan konsep active labor policy. Sebagai contoh, diluncurkannya Program Kartu Pra-kerja1 pada tahun 2020, yang merupakan bentuk program yang mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat tanpa terlalu mengindahkan status ekonomi. Harapannya, masyarakat menjadi lebih mandiri dan terjadi independensi masyarakat terhadap bantuan sosial dari pemerintah.
Dalam melaksanakan program bansos, tiga aspek utama diperlukan untuk memastikan proses distribusi berjalan baik sehingga menghasilkan dampak yang positif. Pertama, kelaziman waktu penyaluran yang seharusnya sesuai dengan kebutuhan mendesak masyarakat. Momen menjadi hal yang penting, khususnya untuk dapat memastikan daya beli dan konsumsi masyarakat terjaga. Program yang dijalankan secara sporadis justru menimbulkan inefisiensi dan ketidakefektifan. Kedua, ketepatan sasaran agar bantuan benar-benar diterima oleh pihak yang membutuhkan. Pemerintah perlu memastikan bantuan tidak mengalami inclusion dan exclusion error yang signifikan. Ketiga, perlu kejelasan sistem dan mekanisme penyampaian bansos. Hal ini termasuk siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana mekanismenya dijalankan. Ketika ketiga aspek itu dijalankan dan ditaati sungguh-sungguh, bansos dapat terus berjalan sesuai tujuannya baik dalam situasi ekonomi normal, ataupun situasi ekonomi krisis (karena pandemi, bencana alam, dan lain-lain).
Aspek Kontinuitas Program Kesejahteraan dan Pentingnya Prinsip Keadilan Sosial: Mewujudkan Kesejahteraan Tanpa Terpengaruhi Dinamika Politik
Menilik tujuan utama dari program bantuan sosial (bansos), kita dapat menggarisbawahi dua hal. Pertama, mengatasi permasalahan kemiskinan dan yang kedua adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun bansos sering menjadi sasaran kritik, data menunjukkan adanya dampak positifnya bansos dalam bentuk penurunan persentase penduduk miskin dari 10,96% pada tahun 2014 menjadi 9,57% pada tahun 2022. Studi yang dilakukan oleh ISEAS pada tahun 2018 menunjukkan bahwa tantangan utama yang dihadapi oleh program perlindungan sosial di Indonesia terkait dengan penentuan sasaran dan distribusi manfaat. Program-program ini mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan kondisi lokal, konsep, dan praktik-praktik yang ada, sehingga membutuhkan pendekatan yang lebih polisentris untuk mengakomodasi etika sosial dan kebutuhan dari masyarakat miskin di pedesaan. Mengingat, mayoritas rumah tangga miskin di Indonesia berada di pedesaan. Sebuah tantangan dan tugas berat bagi presiden dan pemerintah di periode berikutnya. Mengingat, pemerintah berikutnya harus dapat memastikan bahwa bantuan sosial (bansos) yang disediakan memiliki dampak yang signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan dan dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat.
Secara umum bantuan sosial (Bansos) menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem kesejahteraan di Indonesia dengan pemerintahan. Hal ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk menyediakan pelayanan yang berkelanjutan, sesuai dengan perundang-undangan, tanpa terpengaruh oleh perubahan kepemimpinan atau dinamika politik. Fokus utama dalam program bantuan sosial adalah mencapai target pengurangan tingkat kemiskinan hingga di bawah 10%. Oleh karena itu, kontinuitas kebijakan perlu ditekankan sebagai bentuk keberlanjutan visi pemerintah. Sehingga muncul keyakinan masyarakat bahwa kebijakan tersebut akan diteruskan oleh siapapun yang memegang tanggung jawab kepemimpinan di Indonesia, tanpa memandang afiliasi partai politik atau identitas calon tertentu. Meskipun demikian, kita dalam sejarahnya mencatat bahwa bentuk program, metode penyampaian, ataupun mekanisme eligibilitas penerima bantuan dapat berbeda antar rezim pemerintahan.
Sebagai contoh, pada periode 1998-2005, pemerintah Indonesia menjalankan Program Sistem Sosial Nasional (SSN), yang diinisiasi dan dikelola oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Selama periode ini, terjadi peningkatan signifikan dalam pengeluaran bantuan sosial (bansos) dari Rp17,1 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp63,18 triliun pada tahun 2011. Secara persentase, peningkatan paling besar pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemudian meneruskan kebijakan ini dengan alokasi dana yang lebih besar dan beberapa perubahan. Meskipun awalnya Jokowi memiliki sikap kritis terhadap bantuan langsung tunai, perubahan terjadi dengan penggelontoran dana yang signifikan untuk program-program bansos. Pada tahun 2016, dana yang dialokasikan mencapai lebih dari Rp150 triliun, dan pada tahun 2024, angka tersebut meningkat menjadi Rp241,04 triliun. Hal ini membuktikan bahwa program ini tetap dianggap sebagai instrumen penting dalam menjaga daya beli masyarakat dan mengurangi tingkat kemiskinan. Namun, satu hal yang pasti, anggaran bansos tidak akan terlalu banyak berubah dan cenderung bertambah. Hal ini mengingat bahwa program bansos merupakan salah satu fungsi distribusi dari APBN.
Mengamankan Bantuan Sosial: Independensi dan Kelembagaan
Tantangan yang dihadapi dalam mengamankan bantuan sosial adalah menurunnya ketepatan sasaran, terutama untuk kelompok termiskin yang hanya 31,3% diantaranya mendapatkan lebih dari satu bantuan. Permasalahan juga melibatkan ketepatan jumlah bantuan sosial dan waktu penyalurannya yang mengalami kendala di berbagai daerah, termasuk kesalahan penargetan, biaya tambahan yang timbul, dan praktik korupsi. Semua ini berpotensi merugikan efektivitas dan keberhasilan program.
Selain itu, pengaruh aspek ketidakrataan dari sistem perlindungan sosial yang terbatas untuk koordinasi dan pengelolaan program perlindungan sosial, menimbulkan tantangan yang signifikan. Tantangan-tantangan ini mempengaruhi efektivitas program perlindungan sosial, membatasi cakupannya, meningkatkan risiko pengecualian populasi rentan, dan mengurangi dampak keseluruhan terhadap pengurangan kemiskinan dan pembangunan sosial (SMERU Research Institute, 2011) (Bappenas, 2014).
Merujuk pada hasil penelitian oleh van Diermen dan Maryke (2018), sistem perlindungan sosial di Indonesia sangat dipengaruhi oleh koordinasi kekuasaan antara koalisi politik dan sosial yang berbeda, terutama selama periode Orde Baru. Pada era itu, pejabat pencari rente beserta sekutu korporat masih memiliki pengaruh yang cukup signifikan, menghasilkan perubahan yang terbatas dan fokus pada pengembangan ekonomi yang menguntungkan kepentingan elit. Namun, sejak tahun 2014 terjadi pergeseran yang cukup signifikan. Pada tahun 2014 terjadi ekspansi cakupan dan manfaat, menunjukkan pergeseran menuju sistem yang lebih universal. Periode pasca reformasi menyaksikan pengenalan program perlindungan sosial baru, yang ditegakkan oleh paket reformasi IMF dan dirancang oleh organisasi internasional dan teknokrat Indonesia. Program-program ini, termasuk proyek pemberdayaan masyarakat, asuransi kesehatan, beasiswa pendidikan, dan transfer tunai, bertujuan untuk mengurangi kemiskinan. Meskipun tetap masih menghadapi masalah seperti kesalahan penargetan, biaya ilegal, dan korupsi.
Langkah-langkah konkret, seperti memberikan landasan hukum yang kuat, melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan meningkatkan transparansi, perlu diambil untuk memastikan bahwa bantuan sosial benar-benar mencapai mereka yang membutuhkan dan memberikan dampak positif terhadap penurunan kemiskinan dan pembangunan sosial. Selain itu evaluasi pelaksanaan bansos sebaiknya juga rutin dilakukan. Dengan demikian, integrasi pendekatan holistik yang melibatkan independensi, partisipasi, dan peran sistem hukum menjadi krusial untuk mencapai keberhasilan yang berkelanjutan dalam mengamankan bantuan sosial di Indonesia.
Penutup
Bantuan sosial (bansos) bukan sekadar program, melainkan menjadi pilar utama dalam sistem kesejahteraan, memegang peran sentral dalam mengatasi tantangan kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya kontinuitas kebijakan perlindungan sosial diakui sebagai langkah krusial. Akan sangat amat disayangkan apabila bantuan sosial kembali ke masa lampau (order baru), berfokus pada subsidi, sekedar bagi-bagi uang tanpa ada sasaran yang jelas, dan hanya berfungsi sebagai alat meningkatkan popularitas politisi di pemerintahan. Dibutuhkan keberlanjutan dan evaluasi terus menerus agar bantuan sosial terus meningkat efisiensi dan efektivitasnya.
Evaluasi berkelanjutan menjadi alat untuk meningkatkan efisiensi, sementara pengawasan yang diperluas dan peningkatan mekanisme pengendalian mutu menjadi tindakan mendesak. Sistem pelaporan transparan dan akuntabel menjadi langkah awal untuk memastikan bantuan sosial tepat sasaran. Partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan dan evaluasi program menjadi penjaga akuntabilitas dan deteksi dini potensi penyimpangan. Revitalisasi dan perbaikan sistem pengelolaan program bantuan sosial menjadi esensial. Reformasi desain program, peningkatan kapasitas SDM, dan adopsi teknologi informasi yang canggih menjadi kunci untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan efektivitas penyaluran bantuan sosial. Sinergi antara pemerintah, lembaga terkait, dan masyarakat menjadi landasan utama dalam mewujudkan perlindungan sosial yang adil dan efektif.
Menghadapi masa depan, penguatan sistem hukum dan keterlibatan aktif sektor swasta serta lembaga non-pemerintah diakui sebagai langkah progresif. Kolaborasi yang baik menjadi kunci dalam menjamin keberlanjutan program perlindungan sosial. Selain itu, bantuan sosial juga harus bersifat adaptif dan mampu meredam efek kemiskinan yang muncul akibat adanya perubahan iklim. Perlu juga dorongan untuk mengarahkan program perlindungan sosial ke arah kebijakan active labor market policy untuk rumah tangga yang sudah siap. Tantangan besar akan tetap hadir, namun dengan langkah-langkah tersebut, setiap upaya diarahkan pada kesejahteraan yang berkelanjutan.
Footnote
1 Kartu Prakerja bukan merupakan program bansos dan merupakan salah satu bukti transformasi program bantuan sosial ke arah program active labor policy. Program Kartu Pra Kerja merupakan program peningkatan kompetensi, daya saing, produktivitas dan kewirausahaan. Semua WNI usia 18-64 boleh daftar. Menganggur maupun tidak.