Authors: Firosy Ayatur R., M.Sc. & Ridho Suditomo
Yogyakarta, dengan sejarah panjangnya sebagai pusat budaya dan pendidikan di Indonesia, menyimpan cerita yang kontras di balik kemegahannya. Meskipun dikenal sebagai salah satu destinasi wisata dan pendidikan utama, Yogyakarta masih harus berjuang menghadapi tantangan besar: kemiskinan.
Persentase kemiskinan di DIY secara konsisten lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa Tengah dan rata-rata nasional sepanjang periode ini. Pada tahun 2014, tingkat kemiskinan DIY mencapai puncaknya di 14,55% dan meskipun ada penurunan dari tahun ke tahun, angka ini tetap tinggi hingga 2024 dengan 10,82%
Grafik ini mengindikasikan bahwa meskipun terdapat perbaikan dalam pengurangan kemiskinan secara keseluruhan, DIY tetap menghadapi tantangan yang lebih besar dibandingkan dengan Jawa Tengah dan rata-rata nasional. Tingginya persentase kemiskinan di DIY menunjukkan bahwa wilayah ini mungkin memerlukan perhatian dan intervensi khusus untuk mengatasi masalah kemiskinan yang lebih kompleks.
Tingkat Penduduk miskin Kabupaten/Kota D.I. Yogyakarta – Jawa Tengah Tahun 2024
Daftar ini menunjukkan kontras tajam antara kabupaten dengan kemiskinan tinggi dan kota-kota yang berhasil menurunkannya. Wilayah pedesaan dengan akses terbatas terhadap infrastruktur dan peluang ekonomi cenderung memiliki kemiskinan lebih tinggi, sementara kota-kota besar yang lebih berkembang memiliki kemiskinan jauh lebih rendah. Di DIY, daerah dekat pusat ekonomi seperti Sleman dan Kota Yogyakarta memiliki kemiskinan lebih rendah, sedangkan daerah terpencil seperti Kulonprogo dan Gunungkidul menghadapi tantangan kemiskinan yang lebih besar. Di Jawa Tengah, kabupaten seperti Kebumen, Brebes, dan Wonosobo mencatat kemiskinan tinggi, sementara kota besar seperti Semarang menunjukkan kemiskinan lebih rendah. Kesimpulannya, baik DIY maupun Jawa Tengah menghadapi tantangan kemiskinan yang bervariasi berdasarkan lokasi, dengan pedesaan dan daerah perbatasan umumnya memiliki kemiskinan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan yang lebih maju.
Tingkat UMP D.I. Yogyakarta – Jawa Tengah Tahun 2024
UMP tertinggi di wilayah ini cenderung berada di kota-kota besar dan pusat ekonomi seperti Semarang (Rp3.243.969) dan Kota Yogyakarta (Rp2.492.997), yang menawarkan lebih banyak peluang ekonomi dan standar hidup yang lebih tinggi. Sebaliknya, wilayah dengan UMP terendah, seperti Kebumen (Rp2.127.641) dan Brebes (Rp2.103.100), adalah daerah yang masih menghadapi tantangan dalam hal akses terhadap industri besar dan ekonomi yang lebih berkembang, sehingga berpengaruh pada tingkat upah yang lebih rendah.
Rata-rata Lama Sekolah D.I. Yogyakarta – Jawa Tengah Tahun 2023
Kota-kota besar dan wilayah yang berdekatan dengan pusat pendidikan cenderung memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Misalnya, Kota Yogyakarta dengan rata-rata lama sekolah 12,11 tahun, diikuti oleh Kota Salatiga (11,24 tahun) dan Sleman (11,01 tahun). Di sisi lain, daerah pedesaan atau wilayah dengan fokus pada sektor pertanian menunjukkan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Contohnya, Brebes hanya memiliki rata-rata lama sekolah 6,40 tahun, Wonosobo (6,89 tahun), dan Gunungkidul (7,32 tahun). Disparitas ini mencerminkan perbedaan akses dan kualitas pendidikan di wilayah DIY-Jawa Tengah.
Kesimpulan dan Saran
Merdeka, tapi masih berjuang, itulah potret kemiskinan di Yogyakarta. Meski Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dikenal sebagai pusat kebudayaan dan pendidikan dengan warisan intelektual yang kuat, realitas menunjukkan bahwa kemiskinan masih menjadi tantangan besar. Walaupun ada upaya penurunan kemiskinan, angka kemiskinan di DIY tetap lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lain dan rata-rata nasional. Kesenjangan antara pusat kota dan daerah pinggiran terlihat jelas, di mana daerah pedesaan seperti Gunungkidul dan Kulonprogo masih tertinggal dalam hal akses terhadap pendidikan, infrastruktur, dan peluang ekonomi. Yogyakarta kini berada di persimpangan antara mempertahankan kejayaannya sebagai pusat kebudayaan dan menghadapi pergulatan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Untuk mengatasi kemiskinan di Yogyakarta, diperlukan kebijakan yang berfokus pada tiga pilar utama. Pertama, penyaluran bantuan sosial harus tepat sasaran agar benar-benar meringankan beban ekonomi masyarakat miskin. Kedua, peningkatan upah minimum dan perluasan program padat karya perlu dilakukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, khususnya di sektor-sektor rentan. Ketiga, upaya pengurangan kantong kemiskinan dapat dilakukan dengan mendorong investasi ke daerah-daerah yang masih tertinggal, seperti Gunungkidul dan Kulonprogo, guna membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan akses ekonomi. Dengan pendekatan ini, Yogyakarta diharapkan dapat mengurangi kesenjangan ekonomi sambil mempertahankan identitasnya sebagai pusat kebudayaan dan pendidikan.